Pemberitahuan Penting!

Posted: Agustus 16, 2011 in Akhlak

KARENA BEBERAPA PERTIMBANGAN, BLOG INI TIDAK DIAKTIFKAN DAN AKAN DIALIHKAN KE WEBSITE KRISTALILMU.COM..

SEGERA KUNJUNGI WEBSITE TERBARU KAMI DI KRISTALILMU.COM..

MOHON MAAF ATAS PEMBERITAHUAN INI..

SEMOGA WEBSITE TERSEBUT BISA LEBIH BAIK DARI BLOG KITA INI..

AAMIIN..

 

-Roni-

Sajak Kerinduan

Posted: Agustus 9, 2011 in Puisi

Ini kisah tentang seorang pengembara

Mengais warisan para Nabi di negeri antah berantah

Menggenggam bara api ketika manusia sibuk bermimpi

Seolah dunia tak mengenal kata mati

 

Berlelah dalam keletihan

Bertarung dengan jenuh yang tak bosan menjamah

Berjuang menyelamatkan masa muda dari kenikmatan semu

Terpaut dalam ketaatan kepada Sang Pencipta

 

Waktu-waktu pun berlalu

Menyusuri takdir setapak yang telah digariskan

Menggoreskan berjuta mutiara kenangan

Menyisakan kerinduan yang amat mendalam

 

Gelora asa tak jua surut

Membuncah dalam raga, mengusik emosi jiwa

Berlari dengan arah yang tak pasti

Menyentuh sisi rasa yang tak bertepi

 

Saat-saat itu akan tiba

Di mana tumpuan kasih akan tercurah

Entah seberapa lama ia terpendam dalam angan

Membuahkan sebening rasa haru yang membiru

 

Getirnya hidup telah ia kecap

Manisnya kesabaran telah ia reguk

Ia telah meraih singgasana tertinggi

Merintis jalan menuju ridho Ilahi

 

Sebuah bakti

Sebongkah amanat

Sesimpul senyum

Setetes air mata bahagia

 

Karena itu, ia kini kembali…

 

 

 

 

 

Malam bertabur bintang di bulan bertabur berkah..

Di bawah bayang benang perak rembulan..

Senin, 8 Ramadhan 1432 H / 8 Agustus 2011 M

Roni Nuryusmansyah

 

 

 

 

 

 

Dengar Diamku

Posted: Agustus 8, 2011 in Puisi

Dengar diamku

Bersemayam tanpa nada

Mengalir tak bersuara

Memecahkan lantunan tak berirama

 

Pekatnya biru mulai pudar

Kemuning menghembuskan aura senja

Bertiup..

Namun tetap membisu

 

Ingin ku berontak

Lelah menjalani drama hidup ini

Hidup yang penuh gores ketidak-adilan

Hidup yang kelam akan kezhaliman

 

Namun aku terdepak dalam sadar

Melihat mereka dalam kasta terendah

Bisu dari lisan yang mengeluh

Bahagia menjalani kejamnya sebuah pesakitan

 

Ketegaran mereka menyadarkanku

Meniti kesulitan hidup yang tak terbayangkan

Merasakan kejamnya dunia yang penuh garis kekerasan

Namun mereka membangun istana bahagia di dalamnya

Dengan senyuman..

 

Ya Allah

Jangan kau cabut rasa syukur dari hatiku

Jangan kau tenggelamkan aku dalam keputus-asaan

Jauhkan aku dari hati yang tak pernah merasa puas

 

Aku menuntut-Mu mendengar diamku

Namun aku tak mendengar perintah-Mu

Aku pun tak mendengar diam mereka

Aku hanya mendengar jeritan dalam diamku

 

Di sudut sepi aku bercermin

Dalam gelapnya sebuah keputus-asaan

Serpihan asa yang telah retak

Kini ku coba merajutnya menjadi nyata

 

Aku yang selalu mengeluh dalam rahasia takdir-Mu

Aku yang selalu menuntut hak tanpa tunaikan kewajibanku

Aku dan jiwaku yang tak pernah merasa puas

Ampuni aku, wahai Sang Pengampun

 

 

 

 

Ketika mentari malu menampakkan kehangatannya..

Ketika dingin subuh seakan tak mau pergi..

Jum’at, 6 Ramadhan 1432 H / 6 Agustus 2011 M

Roni Nuryusmansyah

 

Dia (Bukan) Teroris!!

Posted: Juli 16, 2011 in Aqidah

Dewasa ini, kasus terorisme marak terjadi di setiap belahan dunia, tak terkecuali di bumi nusantara kita ini. Pemerintah mengerahkan daya dan upayanya agar kasus serupa tak terulang. Masyarakat pun turut membantu dan peka terhadap lingkungan sekitar. Namun amat disayangkan, kewaspadaan masyarakat terhadap aksi teroris ini tak diimbangi dengan ilmu. Sehingga tak sedikit, setiap pemuda yang dengan gigih mengamalkan sunnah dituduh sebagai teroris. Ironisnya, jenggot dan cadar yang disepakati pensyariatannya bahkan dicap sebagai simbol teroris.

Sejatinya, terorisme adalah sebuah pemikiran yang hanya kita mampu ketahui dengan ilmu, bukan dengan penampilan. Sehingga tak dapat dikatakan bahwa seseorang yang berpenampilan sama dengan teroris adalah teroris. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi kita untuk membekali diri dengan ilmu dan mengetahui seluk beluk pemahaman terorisme. Sehingga kita tidak mudah menyebar vonis teroris secara serampangan, menuduh orang-orang yang tak bersalah sebagai biang dari teror atas nama jihad, dan kita pun dapat terhindar dari ganasnya doktrin terorisme dan pemikiran-pemikiran radikal lainnya.

 

PENGKAFIRAN

Awal mula tindakan teror adalah pengkafiran. Pengusung pemikiran takfir berandil besar dalam menyebarkan doktrin-doktrin kotor. Mereka menggiring para pemuda yang terpancing emosi yang membara untuk melakukan pengkafiran sehingga menghalalkan pengrusakan. Mereka mencari para pemuda yang bersemangat dalam mengingkari kemungkaran dan berkeinginan kuat untuk meraih surga. Lalu mereka membawakan ayat-ayat dan hadits tentang jihad dan keutamaan mati syahid di jalan Allah. Mereka juga menanamkan doktrin bahwa pemerintah adalah orang pertama yang harus diperangi. Akhirnya terjadilah apa yang dapat kita saksikan di masa sekarang ini.

Karena itu, gemar takfir tanpa mengetahui dan menerapkan ketetapan dan syarat takfir itu sendiri adalah poros kerusakan. Mereka hakikatnya hanyalah mengikuti hawa nafsu dan bodoh tentang syari’at. Buktinya, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin atas nama jihad fi sabilillah. Bahkan pelakunya dijuluki syahid! Hendaknya mereka memikirkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “Wahai Kafir!”, maka (kekafiran) tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” [HR. Bukhari-Muslim]

Bukan hanya pada masa ini saja pengkafiran menjadi fitnah di tengah-tengah kaum muslimin. Jauh sebelumnya, fitnah inilah yang memicu lahirnya Khowarij pada masa sahabat. Mereka membunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan mengkafirkan ‘Ali bin ‘Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu serta melakukan pemberontakan-pemberontakan lainnya. Inilah yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang berusia muda dan dangkal ilmunya dengan berdalih pada Al-Qur’an. Mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tak sampai ke tenggorokan mereka…” [HR. Bukhari]

Baca entri selengkapnya »

Jejak Kepulanganku (Part. III)

Posted: Juni 15, 2011 in Kisah

Ombak menari-nari di hamparan biru selat Sunda. Bergelombang lantaran diamnya diusik oleh kapal feri putih yang kami tumpangi. Membelah tenangnya lautan menjadi gemuruh yang membuat ikan-ikan lari ke dasar. Jauh di pelupuk mata hanyalah warna biru. Luas. Seolah ia adalah ujung dunia yang tak bertepi. Pelabuhan merak semakin menjauh, lalu menghilang. Kapal-kapal besar melintang bak raksasa. Berlayar mengarungi samudera. Jantung perniagaan dalam dunia pelayaran ini begitu mempesona. Menyajikan pemandangan yang tak dapat kami saksikan di kota asal kami ataupun provinsi tempat kami tinggal. Indah sekali. Ketika itu, baterai HP-ku mati. Karena itu aku tidak bisa mengabadikan fenomena alam ini untuk ku tunjukkan ke hadapan keluargaku.

Namun kami heran, mengapa penumpang bus eksekutif Putra Remaja lebih memilih tidur siang di dalam bus ketimbang melihat panorama alam yang menawan langsung dari atas kapal. Ternyata kami tahu jawabannya setelah berada di deck kapal. Sumatera telah menyambut kami dengan hawa panasnya yang begitu menggelora. Terik sang surya membiaskan cahayanya, membakar air laut sehingga uap-uapnya menciptakan udara yang sangat tak bersahabat. Pengap. Terlebih lagi penumpang berdesak-desakan memenuhi setiap ruang di dalam kapal. Bahkan ada yang duduk di depan pintu WC yang bising tak tertahankan. Menyedihkan.

Kami segera menuju musholla setelah sebelumnya mengambil wudhu’. Kami pun segera menjama’ sholat dan menqoshornya. Setelah itu, kami berinisiatif untuk beristirahat di dalam masjid seperti penumpang-penumpang lainnya yang padat mengisi ruang kosong musholla itu. Ada yang sekedar berbaring dan ada yang telah tertidur. Lelah adalah suatu kata yang dapat mendeskripsikan raut wajah-wajah mereka. Tak berapa lama, kami dikejutkan oleh suara petugas yang meminta kami agar jangan istirahat di dalam masjid. Sebagian menggerutu. Kami akhirnya memilih bergabung bersama penumpang bus, beristirahat di dalam bus. Hanya bisa menatap laut dari kaca jendela bus dan ventilasi ruang bawah kapal. Samar-samar.. Baca entri selengkapnya »

Raihlah Keutamaan Tauhid

Posted: Mei 5, 2011 in Aqidah
Tauhid adalah pondasi dasar dalam agama Islam yang  kita anut ini. Ia adalah rukun Islam pertama yang kita semua sepakat akan hal itu. Namun, sangat disayangkan tatkala kenyataan membeberkan kebobrokan kita dalam memahami maupun mengaplikasikan tauhid tersebut. Betapa banyak di antara kita bergelimang dalam kesyirikan tanpa menyadari hal tersebut. Apa sebabnya? Salah satunya adalah karena kita menganggap tauhid adalah hal yang sepele. Sehingga kita meremehkannya dan tidak menyibukkan diri untuk mempelajarinya. Seolah-olah hanya dengan mengucapkan kalimat tauhid, kita telah menjadi sang muwahhid (hamba yang bertauhid) sejati. Benarkah?
Oleh karena itu, sejenak kita paparkan melalui lembaran sederhana ini berbagai keutamaan-keutamaan tauhid. Karena dengan mengetahui keutamaan-keutamaannya, jiwa akan semakin termotivasi untuk meraihnya. Begitu juga, semoga dengan mengetahui keutamaan-keutamaannya, jiwa kita akan menghargai betapa indahnya tauhid yang murni dan betapa nikmatnya menjadi muwahhid sejati.
Di antara keutamaan tauhid adalah sebagai berikut:
1. Sebab masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab
Surga adalah dambaan setiap insan. Tempat yang Allah Ta’ala sediakan untuk hamba-Nya yang bertakwa dan baik amalnya. Salah satu kunci untuk memasukinya adalah tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah “Laa ilaaha illallah”, maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meninggal dan dia mengetahui bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Siapa pun yang kau temui di balik kebun ini, ia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan ia menancapkan keyakinan ini dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga.” (HR. Muslim)
Bahkan dengannya, seorang hamba dapat masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beberapa umat pernah ditampakkan kepadaku, maka  aku melihat seorang Nabi yang bersamanya sekumpulan manusia… Maka aku melihat suatu kumpulan yang ramai, lalu dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang akan memasuki Surga tanpa hisab dan adzab.’… Mereka adalah orang-orang yang tidak berobat menggunakan kay (besi panas), tidak meminta supaya diruqyah, tidak meramalkan perkara-perkara buruk, dan hanya kepada Allah mereka bertawakal. (Muttafaqun ‘alaihi)
Itu adalah sebagian amalan yang menunjukkan kemurnian tauhid pelakunya. Mereka bertawakal hanya kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal. Maka, Allah Ta’ala memasukkan mereka ke dalam surga-Nya tanpa hisab dan tanpa adzab disebabkan sempurnanya iman mereka. Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam surga bersama mereka.
2. Membuat pelakunya tidak kekal di neraka
Tauhid menjadi sebab penghalang seseorang kekal di neraka bagi yang berhak memasukinya. Sebagaimana hadits tentang syafa’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dikeluarkan dari neraka orang yang mengatakan “Laa Ilaha Illallah” dan di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Bahkan ditegaskan bagi siapa saja yang tauhidnya sempurna, maka diharamkan baginya neraka. Ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengatakan “Laa Ilaha Illallah” dengan mengharap wajah Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Sungguh, jika tidak ada keutamaan lain selain dua keutamaan di atas, itu sudah cukup untuk menunjukkan betapa mulianya tauhid itu dan memang sudah sepantasnya kita berlomba-lomba untuk menggapainya. Baca entri selengkapnya »

Jejak Perjalananku (Part. II)

Posted: April 14, 2011 in Kisah

Dingin. Begitu dingin untuk kulit orang Sumatera sepertiku. Tetesan hujan mengguyuri kota Semarang, mengetuk-ngetuk kaca jendela Bus yang berada tepat di sisi kananku. Senja mulai tenggelam, menanti malam yang telah bersiap-siap mengambil alih menyelimuti dunia. Seolah-olah pelari estafet terakhir dalam Pekan Olahraga Nasional yang tak sabar untuk menunjukkan kemampuan sprintnya di depan beribu-ribu penonton. Lampu-lampu berwarna-warni semakin menghiasi kota bersejarah itu. Semakin jauh, seperti kunang-kunang malam berbaris rapi membentuk pelangi. Manis sekali. Pemandangan yang indah semakin teduh karena siraman hujan. Semakin gelap, backdrop pun berganti menjadi medan petani mencari nafkah, tanah perkebunan.

Bangunan-bangunan mewah dan pabrik-pabrik besar yang berdiri kokoh dengan congkak di tepi jalan kini berevolusi menjadi area hijau perkebunan dan persawahan yang teduh. Petani bersibuk diri pulang ke papan. Lereng-lereng bukit pun semakin menjulang. Bunga-bunga cantik berkelopak jingga yang aku tak tahu apa namanya semakin memperindah sambutan malam hari itu. Langit pun kian menjelma menjadi gulita malam. Gelap. Seperti gelapnya langit waktu suhur tadi. Saat roda bus Akas yang kami tumpangi berhenti, tepat di Terminal Tirtonadi, Solo.

Penumpang-penumpang bersegera untuk turun. Para calo, supir bus, supir taxi, tukang ojek dan tukang becak dari berbagai penjuru berlomba mengerumuni kami. Seolah kami adalah sembako gratis di tempat pengungsian bencana alam. Aku mengabaikan mereka seraya berkata, “Tidak.. tidak.. terimakasih..”. Aku langsung menuju sisi kanan bus, di mana koper-koper kami disimpan di dalam box. Ustadz Sa’id, Kak Faqih dan istrinya pun langsung memesan taxi, bersiap menuju Ponpes Imam Bukhori. Kami pun berpisah. Aku dan kedua sahabatku, Dhika dan Hidayat bergegas menuju arah yang berlawanan dengan pintu gerbang terminal. Tidak lain dan tidak bukan kami menuju salah satu dari rumah-rumah Allah, masjid al-Musafir.

Dengan sempoyongan kami berjalan terseok-seok. Barang-barang yang kami bawa begitu banyak. Orang-orang yang mengerumuni kami tadi pun mengejar kami. Ada yang menawarkan kendaraan mereka, bertanya tempat tujuan kami, bahkan ada yang hendak merebut barang kami menuju kendaraan mereka. Aku mengabaikan mereka seraya berkata, “tidak.. tidak.. terimakasih..”. Tak jera. Mereka terus-menerus menginterogasi kami. Sungguh ironi, tuntutan hidup memang terkadang kejam. Pagi-pagi buta mereka sudah mati-matian berjuang demi sesuap nasi. Untuk bertahan hidup. Hidupnya, istrinya dan anak-anaknya. Baca entri selengkapnya »

Jejak Kepulanganku (Part. I)

Posted: April 3, 2011 in Kisah

Nafasku terengah. Terus berusaha melangkahkan kaki. Terdengar keras sandal hitamku menghentakkan bumi. Berlari menuju sebuah tempat di tepi jalan berdebu. Melewati banyak orang dengan tas-tas besar mereka. Menatap kami dengan aneh. Terkadang beberapa orang menawarkan kami untuk masuk ke dalam bus-bus besar. Tapi kami menolaknya dengan halus. Kami terus berlari mengabaikan rasa lelah dan hawa panas di bawah teriknya panas mentari. Yang menaungi kota Solo.

Sesekali aku memotivasi kedua temanku untuk lebih cepat berlari. Karena ada sesuatu yang menunggu kami di ujung sana. Kembali menelusuri pinggir jalan. Tak terasa keringatku mulai bercucuran. Membasahi jaket hijauku yang begitu akrab menutupi tubuhku. Sejenak kami berhenti untuk mengatur nafas. Teringat saat sebelum perjalanan panjang ini dimulai

“Di mana dompetku?”, keluhku. “Loh, masa’ kamu lupa Ron ngeletakinnya di mana?”, Tanya temanku, kak Ridho. Seorang pemuda berparas tampan asal Sunda, tepatnya Tasikmalaya. “Duh, hilang….”, dengan khawatir aku sedikit berteriak kecil. Aku memang terkadang suka lupa terhadap hal-hal yang kecil. Padahal aku masih muda, belum genap 19 tahun. Ini bukan kali pertama aku kewalahan mencari sesuatu. Terkadang kartu ATM Mandiri biruku pun lupa ku letakkan di mana. Kali ini, giliran dompet hitamku yang berisi banyak uang sebagai ongkos kepulanganku menuju kota Palembang yang kurang lebih 10 bulan lamanya aku tinggalkan.

Aku masih sibuk mencari si persegi kecil itu. Dari tas ransel merahku sampai lemari besarku pun telah ku obrak-abrik. Tapi aku tak jua menemukannya. Dengan wajah cemas, aku kembali memeriksa meja di mana terakhir aku ingat pernah meletakkannya beberapa menit yang lalu. Tapi tetap sia-sia. Aku pun keluar kamar menuju kamar III. Aku baru saja mengikat kardus besarku di sana. Teman-temanku yang melihatku celingak-celinguk mencari sesuatu pun bertanya, “Cari apa, Ron?”. “Dompetku..”, jawabku pelan. “Ingat-ingat dulu, di mana terakhir antum letakin”, saran mereka. “Iah, ana sedang berusaha mengingatnya”, balasku.

Setelah mendapati hasil nihil, aku kembali ke kamarku di kamar I. Benang-benang mentari di kemuning senja semakin membaur. Aku menatap kardus yang telah ku ikat kuat. Dengan pikiran kacau, aku meminta gunting lalu memotong tali yang mendekap kardus bekas itu. Lalu aku mencoba melepaskan isolasi besar yang telah menempel erat. “Jangan terburu-buru”, pesan Kak Ridho. Sreett.. Kardus pun terbuka. Betapa kecewanya diriku melihat upayaku tak membuahkan hasil.

“Kak Ridho, tolong iah dilem dan diikat lagi?”, pintaku. “Iah”, balas Kak Ridho dengan tawa kecil. Aku pun menyerahkan isolasi besar, gunting, dan tali rapia merah itu kepadanya. Aku pun berusaha mencari dompetku lagi, karena ba’da maghrib kami harus berangkat menuju terminal Tawang Alun, kota Jember. Makin banyak temanku yang membantuku mencarinya. Bahkan dosenku yang kebetulan ingin menemuiku pun turut membantuku.

“Udah antum periksa koper ini belum?”, tanya seorang temanku. Entah mengapa dari tadi aku mengabaikannya. Karena rasanya tidak mungkin aku memasukkan dompet ke dalam koper yang telah ku kunci tersebut. Mengikuti nasehat tersebut, aku pun membuka koper tersebut dengan pasrah. Alhamdulillah. Dompet itu berbaring istirahat di atas tumpukan majalah-majalahku di dalam koper biru itu. Aku pun tertawa kecil sambil menggaruk-garuk kepala. “Udah ketemu, hehe”, kataku polos. Baca entri selengkapnya »

Kunci Harta Karun Orang Mukmin

Posted: Maret 7, 2011 in Akhlak

Kebahagiaan layaknya harta karun. Betapa banyak manusia yang menginginkannya. Namun sebanyak itu pula manusia gagal mendapatkannya. Terpendam begitu dalam. Tertimbun kerakusan dan ketamakan dunia. Sebagian manusia mencarinya dengan menumpuk uang di bank, ada juga yang mencarinya dengan mengoleksi barang-barang mewah di rumah-rumah mereka. Tapi benarkah hal itu merupakan salah satu kunci untuk membuka harta karun tersebut?

 

PETA YANG SALAH

 

Sebagian besar insan menganggap materi adalah segalanya. Mereka mengira bahwa hanya dengan hartalah seseorang dapat menjadi kaya. Mereka menyangka bahwa hanya dengan hartalah mereka dapat memiliki apa yang manusia inginkan, yaitu kebahagiaan. Seakan-akan harta adalah standarisasi kekayaan. Seolah-olah materi adalah harga mati kebahagiaan seseorang. Namun realita berbicara lain. Tidak sedikit manusia dengan segudang harta namun selalu merasa kurang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tidak sedikit pula manusia hidup mewah bergelimang harta tapi hati mereka jauh dari kebahagiaan. Entah itu karena sakit, sibuk, dan lain sebagainya, sehingga tidak mampu menikmati harta kekayaannya. Inilah kenyataan yang menepis semua persepsi keliru yang mendarah daging di benak kebanyakan kita.

 

Renungkanlah! Jika saja kebahagiaan manusia dinilai dari harta, maka tentu Allah Ta’ala akan mengutus para Rasul-Nya dengan membawa dinar dan dirham. Jika saja kebahagiaan manusia dinilai dari harta, maka tentu semua para Nabi hidup kaya bergelimang harta. Namun, tidaklah demikian, saudaraku.

 

JALAN MENUJUNYA

 

Jadi, apa yang menjadi tolak ukur kekayaan seseorang?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kaya hati.” (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia hanya memandang kepada amal dan hati kalian.” (HR. Muslim)

 

Sungguh, syari’at telah menjelaskan jalan sebenarnya menuju kebahagiaan, yaitu kaya hati. Bukan kaya harta sebagaimana yang kebanyakan manusia kira. Lalu, apa yang dimaksud kekayaan hati?

 

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

“Kekayaan yang terpuji adalah kayanya jiwa dan sedikitnya ketamakan terhadapnya. Bukanlah yang dimaksud (kekayaan) adalah banyaknya harta dan kerakusan untuk selalu ingin menambahnya. Karena barangsiapa yang selalu meminta tambahan dan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dia miliki, maka sejatinya dia tidak memiliki kekayaan.” [Syarh Shohih Muslim]

 

Itulah qona’ah. Merasa cukup dengan apa yang Allah telah berikan kepadanya. Sebuah akhlak mulia yang terlupakan oleh kebanyakan dari kita. Padahal dialah kunci harta karun yang akan membukakan kebahagiaan kepada pemiliknya.

Baca entri selengkapnya »

Judul Buku         : Imunisasi Syari’at

(Terobosan Inovatif, Menangkal Berbagai Macam Penyakit)

Penulis                 : Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA

Tebal                    : vi + 138 halaman

Cetakan               : Pertama, April 2010 M

Penerbit              : Pustaka Darul Ilmi

 

 

Manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta, meskipun akhirnya mengorbankan kesehatannya. Namun, semua harta itu rela dikorbankannya demi mendapatkan kesehatan itu kembali. Begitulah sedikit gambaran yang menerangkan betapa berharganya kesehatan dan kesembuhan dari berbagai penyakit itu. Maka tidaklah mengherankan jika di era globalisasi ini, kesehatan menjadi prioritas utama dan harga mati dalam kehidupan manusia. Rumah sakit seolah tidak pernah sepi dari pengunjung. Para dokter selalu bermunculan seakan tidak pernah ada habisnya. Obat-obatan dan berbagai imunisasi semakin beranekaragam.

Namun sangat disayangkan, kebanyakan manusia hanya melihat hal ini dari sisi ilmiahnya saja. Terlalu bergantung dengan berbagai eksperimen berbagai ahli kedokteran. Mereka seolah lupa bahwa syari’at telah mengupas tuntas masalah ini. Maka dari sinilah, sang penulis, Ustadz Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA hafizhahullah hadir dengan tulisannya yang sangat menarik. Beliau begitu apik meracik resep imunisasi yang berbahandasarkan syari’at dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih.

Imunisasi Syari’at. Itulah sepasang kata yang telah dipilih untuk menjadi judul buku ini oleh penulis, seorang alumnus doktoral Universitas Islam Madinah yang tidak diragukan lagi kadar keilmuan Beliau. Hal itu dapat diketahui dari berbagai karya tulis Beliau, baik berbentuk artikel maupun buku yang telah tersebar di penjuru nusantara.

Dengan gaya penyampaian yang terkesan hidup, seolah-olah sang penulis sedang berbicara langsung di hadapan para pembaca buku ini, menjadi nilai plus yang membuat buku ini semakin layak dikonsumsi oleh berbagai kalangan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Beliau juga secara gamblang menampilkan sekelumit kisah nyata bertabur ibrah yang semakin menghiasi buku berukuran 20 x 14 cm ini.

Salah besar jika kita mengira bahwa buku ini hanya menyuguhkan pengobatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, sebagaimana buku-buku Thibbun Nawawi yang banyak beredar di pasaran. Akan tetapi, buku ini juga menyusuri berbagai biang penyakit serta tindakan preventif dari kacamata syari’at. Bahkan buku ini mendeskripsikan solusi dari berbagai kendala dalam sisi kesehatan yang notabene dialami oleh sebagian besar manusia, berupa pengobatan yang berlabel manjur. Tidak hanya itu, Beliau juga menambahkan syarat pengobatan yang tepat dan beberapa peringatan penting seputar dunia medis atau kedokteran.

Buku terbitan Pustaka Darul Ilmi ini juga didesain secara menarik sehingga tidak terkesan monoton untuk dikonsumsi oleh para pembaca.  Apalagi buku ini sarat akan contoh nyata yang bersumber dari hadits-hadits shohih dan atsar-atsar dari Sahabat radhiyallahu ‘anhum di tiap permasalahannya. Sehingga buku ini sangat layak dimiliki oleh masyarakat umum, tidak terkecuali da’i dan para tholibul ‘ilmi. Semoga dengan membaca buku ini, bertambahlah keimanan kita terhadap agama Islam yang sempurna ini, yang telah membuktikan bahwa ialah sumber kebahagiaan kita semua. Wallahu A’lam.

 

 

 

 

 

 

 

 

Ditulis oleh Abu Ahnaf Roni Nuryusmansyah al-Falimbany..
Mahasiswa STDI Imam Syafi’i Jember..

_____________________
[Disalin dari majalah As-Furqon 111 Rabi’ul Awwal 1432 H / Februari 2011 M, hal. 69]